Rabu, 13 November 2024

ISU MUTAKHIR, IDENTIFIKASI MASALAH, RUMUSAN MASALAH, DAN METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

 

Disusun oleh Samsul Feri Apriyadi 

Mata Kuliah Filsafat dan Isu Kontemporer Pendidikan Matematika

Prodi S3 Pendidikan Matematika UNY

Dosen Pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.

 

 

A.     Isu Mutakhir Pembelajaran Matematika

1.       Secara Umum

Isu Mutakhir dalam pembelajaran matematika mencakup berbagai tantangan dan perkembangan yang mempengaruhi bagaimana matematika diajarkan dan dipelajari di seluruh dunia. Beberapa isu tersebut berkaitan dengan kemajuan teknologi, perubahan kebijakan pendidikan, pergeseran paradigma dalam cara belajar, serta masalah kesenjangan dalam pendidikan matematika. Berikut adalah beberapa isu mutakhir yang relevan dalam pembelajaran matematika yang teridentivikasi dari referensi, perkuliahan, pengalaman, dan fakta lapangan saat ini, yaitu:

a.        Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Matematika

Penggunaan teknologi dalam pembelajaran matematika semakin meluas, baik melalui platform pembelajaran online, aplikasi matematika, virtual reality (VR), dan augmented reality (AR). Meskipun teknologi dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika secara visual dan interaktif, ada beberapa tantangan terkait penerapannya, seperti:

·     Keterbatasan Akses

Tidak semua sekolah dan siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Keterbatasan akses antara daerah kaya dan miskin atau antara siswa dengan akses internet yang memadai dan yang tidak, bisa menjadi hambatan signifikan dalam penerapan teknologi dalam pendidikan matematika.

  • Penyalahgunaan Teknologi

Perkembangan teknologi yang pesat, tentu ada dampak posistif maupun negative. Jika terlalu bergantung pada teknologi bisa mengurangi kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan melemahkan kemampuan berhitung manual siswa. Sehingga, ada kekhawatiran bahwa penyalahgunaan teknologi untuk pemecahan masalah matematika bisa mengurangi pemahaman mendalam tentang konsep-konsep dasar matematika.

  • Kesiapan Guru

Banyak guru belum terlatih dengan baik untuk memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pembelajaran matematika.

b.        Adanya Kesenjangan Pendidikan Matematika

Isu kesenjangan pendidikan matematika, baik dalam hal akses maupun kemampuan, terus menjadi masalah, contoh kesenjangan tersebut seperti:

  • Kesenjangan Antargender

Masih ada stereotip yang berkembang di beberapa budaya bahwa matematika lebih cocok untuk anak laki-laki daripada perempuan. Ini berkontribusi pada kesenjangan gender dalam prestasi matematika, meskipun tren ini perlahan mulai berubah seiring dengan peningkatan kesadaran dan kebijakan untuk mempromosikan inklusi gender dalam pendidikan.

  • Kesenjangan Sosial-Ekonomi:

Anak-anak dari keluarga dengan latar belakang sosial-ekonomi rendah seringkali tidak memiliki akses ke pendidikan matematika yang berkualitas, seperti bimbingan belajar, kursus tambahan, atau sumber daya digital. Ini dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam matematika dan memperburuk ketimpangan dalam pencapaian akademik.

 

  • Kesenjangan Daerah

Di negara indonesia, pendidikan matematika di daerah pedesaan atau terpencil masih tertinggal dibandingkan dengan kota besar. Kurangnya infrastruktur, akses ke buku dan teknologi, serta keterbatasan pelatihan guru, memperburuk kesenjangan ini.

c.        Adanya anggapan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit

Matematika sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, yang mengarah pada kecemasan matematika di kalangan siswa. Isu ini sangat relevan, karena kecemasan dapat memengaruhi motivasi dan prestasi siswa dalam mata pelajaran ini. Banyak siswa yang merasa tertekan atau cemas saat belajar matematika, yang dapat menghalangi kemampuan mereka untuk memahami konsep-konsep matematika. Hal ini dapat berakar dari pengalaman buruk sebelumnya, pengajaran yang tidak sesuai, atau bahkan stigma sosial terkait dengan kemampuan matematika.

Selain itu, beberapa siswa merasa bahwa matematika tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Pendekatan pengajaran yang tidak menghubungkan konsep matematika dengan dunia nyata dapat menyebabkan siswa merasa kurang termotivasi untuk mempelajarinya.

d.        Kurangnya Pembelajaran Matematika yang Kontekstual dan Menarik

Masih banyak pembelajaran matematika yang terfokus pada penghafalan rumus dan prosedur tanpa memberi kontekstualisasi atau penerapan dunia nyata. Isu ini mempengaruhi minat siswa dalam mempelajari matematika dan berkontribusi pada ketidakmampuan mereka untuk melihat relevansi matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sering kali, matematika diajarkan tanpa menghubungkannya dengan aplikasi praktis yang relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, mengajarkan statistik atau aljabar dalam konteks perencanaan anggaran pribadi, analisis data, atau bahkan dalam olahraga dan teknologi.

Padahal matematika tidak hanya tentang mempelajari rumus dan prosedur, tetapi juga tentang bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut untuk memecahkan masalah yang kompleks. Oleh karena itu, pendidikan matematika yang inovatif perlu menekankan pemecahan masalah daripada hanya sekadar menghafal formula.           

Dengan demikian isu mutakhir dalam pembelajaran matematika melibatkan berbagai faktor yang berinteraksi, termasuk kemajuan teknologi, tantangan kesenjangan pendidikan, kebutuhan akan pendidikan yang lebih relevan dengan dunia kerja, serta pentingnya membuat pembelajaran matematika lebih menarik dan kontekstual. Untuk mengatasi isu-isu ini, perlu ada pendekatan yang lebih inklusif, adaptif, dan berbasis teknologi yang memfasilitasi pembelajaran matematika yang lebih baik bagi semua siswa, dengan tujuan untuk mempersiapkan mereka menghadapi tantangan abad ke-21.

 

2.       Secara Khusus

       Matematika sebagai ilmu dasar dianggap begitu penting dalam kehidupan, sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten dibidang matematika. Selain itu, matematika merupakan salah satu sarana untuk mengembangkan cara berpikir yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui belajar matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan berpikir sistematis, logis, dan kritis, khususnya dalam mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah. Selain itu, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengharuskan siswa untuk menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika agar mereka dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan khususnya yang berkaitan pada pemanfaatan matematika. Mereka membutuhkan matematika untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari, karena matematika dapat digunakan dalam berbagai hal. Menurut  National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000: 5) bahwa “in this changing world, those who understand and can do mathematics will have significantly enhanced opportunities and option for shaping their futures”. Maksudnya bahwa dalam perubahan zaman, orang-orang yang memiliki pemahaman dan mampu menerapkan matematika dalam segala hal akan mempunyai peluang yang signifikan dalam memilih apa yang hendak dia capai dalam masa depannya.

       Kebutuhan akan pemahaman dan penggunaan matematika dalam kehidupan, menjadikan pembelajaran matematika di sekolah diharapkan mampu memberikan siswa kesempatan untuk memahami dan menerapkan matematika di kehidupan. NCTM (2000), menetapkan bahwa kemampuan matematika yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu pemecahan masalah (problem solving), komunikasi (communication), koneksi (connection), penalaran (reasoning), dan representasi (representation). Berdasarkan uraian di atas, salah satu kemampuan yang wajib dimiliki oleh siswa dalam bidang  matematika adalah pemecahan masalah.

       Pemecahan masalah bukan sekedar topik saja, melainkan suatu proses yang harus ada dan diterapkan dalam semua konteks dimana konsep, prinsip dan keterampilan dipelajari. Menurut Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 bahwa dalam setiap kegiatan inti pembelajaran hendaknya terdapat pemecahan masalah yang disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kemampuan yang penting dikembangkan dan dimiliki oleh siswa. Sehingga pemecahan masalah menjadi tujuan utama dari semua pembelajaran dan aktivitas matematika.

       Menurut NCTM (2000) pemecahan masalah merupakan bagian integral dalam pembelajaran matematika, artinya pemecahan masalah tidak boleh dilepaskan dari pembelajaran matematika. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah ini memberikan akibat pada siswa untuk belajar sesuatu yang baru. Bell (1978) menyatakan bahwa pemecahan masalah matematika dapat membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan mereka, serta dapat membantu dalam mengaplikasikan kemampuan mereka pada berbagai situasi. Pemecahan masalah penting dalam matematika karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada situasi yang baru. Siswa memiliki kesempatan untuk merumuskan, merencanakan, menerapkan, dan melihat kembali solusi yang sudah dibuat.

       Pemecahan masalah mengharuskan siswa mengolah dan mengembangkan pengetahuan yang sudah ada, sehingga memungkinkan mereka untuk bekerja dengan berbagai proses, konsep, dan strategi. Hal ini senada dengan pendapat Lubienski (2000) bahwa pemecahan masalah (problem solving) merupakan alat untuk belajar konten dan proses dalam matematika. Hal ini melihat problem solving sebagai usaha untuk membantu siswa menerapkan apa yang dipelajarinya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai manfaat dari belajar matematika.

       Selain itu posisi penting pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika mengharuskan guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk memecahkan masalah. Guru berperan penting dalam menghadirkan proses pemecahan masalah pada pembelajaran matematika yaitu dengan menyediakan soal-soal yang memenuhi kriteria soal pemecahan masalah. Pemecahan masalah matematika siswa akan muncul seiring dengan masalah-masalah matematika yang harus diselesaikan siswa, sehingga untuk mengembangkan pemecahan masalah matematika, perlu diketahui cara yang dimunculkan siswa dalam menjawab, alur, dan proses berpikir siswa.

       Menurut Gagne (Mulyasa, 2006: 111), kalau seorang siswa dihadapkan pada suatu masalah, pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru.

       Pemecahan masalah memegang peranan penting dalam pelajaran eksak maupun non eksak. Menurut NCTM (2000: 335), pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai berikut:

1.   Pemecahan masalah adalah alat penting mempelajari matematika.

Banyak konsep matematika yang dapat dikenalkan secara efektif kepada siswa melalui pemecahan masalah.

2.     Pemecahan masalah dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan alat sehinggga siswa dapat memformulasikan, mendekati, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah mereka pelajari di sekolah.

       Menurut Gagne (Erman Suherman, 2003: 34), menyatakan bahwa langkah yang harus dilakukan dalam pemecahan masalah matematis yaitu:

1.   menyajikan masalah dalam bentuk yang jelas;

2.   menyatakan masalah dalam bentuk yang operasional;

3.   menyusun hipotesis-hipotesis alternatif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik;

4.   mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya;

5.   mengecek kembali hasil yang diperoleh.

       Sedangkan menurut Polya (1973), langkah-langkah penyelesaian masalah yang terdapat dalam buku ”How to Solve It” meliputi: (1) understanding the problem, (2) devising a plan, (3) carrying out the plan, (4) looking back. Maksudnya dalam pemecahan masalah memuat empat langkah yaitu: (1) memahami masalah; (2) merencanakan penyelesaian; (3) meyelesaikan masalah sesuai rencana; dan (4) melakukan pengecekan kembali.

       Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa, digunakan  suatu soal pemecahan masalah. Jika suatu  masalah diberikan kepada siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai soal pemecahan masalah. Menurut Herman Hudojo (2003: 149), soal-soal matematika dibedakan menjadi dua yaitu: (1) soal latihan; dan (2) masalah. Soal latihan diberikan pada waktu siswa belajar matematika. Soal ini melatih siswa agar terampil atau sebagai aplikasi dari pengertian yang baru saja diajarkan. Berbeda dengan soal latihan, masalah tadi menghendaki siswa untuk menggunakan sintesis dan analisis. Untuk menyelesaikan suatu masalah, siswa harus menguasai hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya yaitu mengenai pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman, tetapi dalam hal ini ia menggunakannya pada situasi baru.

       Jadi sebuah soal dikatakan bukan “masalah” bagi seseorang umumnya bila soal tersebut terlalu mudah baginya. Suatu soal bersifat mudah, biasanya karena soal tersebut telah sering (rutin) dipelajari dan bersifat teknis. Umumnya, tipe soal ingatan dan tipe soal prosedural termasuk kelompok soal-soal rutin (routine problems), yaitu soal-soal yang tergolong mudah dan kurang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam hal pemecahan masalah. Sementara soal tipe terapan umumnya masih sebatas melatih kemampuan siswa menerjemahkan situasi masalah ke dalam model matematika. Soalsoal dengan tipe terbuka dan tipe situasi termasuk soal-soal yang cocok untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

       Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify the problem, (2) Define the problem through thinking about it and sorting out the relevant information, (3) Explore solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out different points of view, (4) Act on the strategies, and (5) Look back and evaluate the effects of your activity.

       Sedangkan model pemecahan masalah yang lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003). Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak guna mencapai tujuan, dan (3) Menerapkan penyelesaian, termasuk melaksanakan rencana dan menilai hasilnya.

       Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Erman Suherman, dkk. (2003) antara lain menyebutkan beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu: (1) Act it Out (menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda kongkrit), (2) Membuat gambar dan diagram, (3) Menemukan pola, (4) Membuat tabel, (5) Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematis, (6) Tebak dan periksa, (7) Kerja mundur, (8) Menentukan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan informasi yang diperlukan, (9) Menggunakan kalimat terbuka, (10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah, dan (11) Mengubah sudut pandang. Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara penyelesaiannya, sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa strategi untuk mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari jenis masalah yang diselesaikannya  Kirkley (2003) menyebutkan ada 3 jenis masalah, yaitu: (1) Masalah-masalah yang terstruktur dengan baik (well structured problems), (2) Masalah-masalah yang terstruktur secara cukup (moderately structured problems), dan (3) Masalah-masalah yang strukturnya jelek (ill structured problems). Masalah yang terstuktur dengan baik, strategi untuk menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu jawaban yang benar, dan semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan masalahnya. Masalah yang terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu strategi penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang strukturnya jelek, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak terduga, mempunyai banyak perspekif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian, serta masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya.

       Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar matematika, sehingga NCTM (2000) menyebutkan bahwa program-program pembelajaran dari pra TK hingga kelas 12 seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu: (1) Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah, (2) Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam konteks-konteks lain, (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang sesuai untuk memecahkan permasalahan, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada proses pemecahan masalah matematis.

       Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru matematika adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama adalah karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang) setiap harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena itu pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas maupun sempit.

Dalam pembelajaran matematika ini aspek pemecahan masalah menjadi semakin penting. Mengapa? Ini dikarenakan matematika merupakan pengetahuan yang logis, sistematis, berpola, artifisial, abstrak, dan yang tak kalah penting menghendaki justifikasi atau pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut pembelajar menggunakan kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan masalah, seperti berpikir logis, berpikir strategik. Selain itu secara timbal balik maka dengan mempelajari matematika, siswa terasah kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal ini dikarenakan strategi dalam pemecahan masalah matematika bersifat “universal” sesuai sifat matematika sebagai bahasa yang universal (artifisial, simbolik).

       Dengan fokus pada problem solving maka matematika sebagai alat dalam memecahkan masalah dapat diadaptasi pada berbagai konteks dan masalah sehari-hari. Selain sebagai “alat” untuk meningkatkan pengetahuan matematika dan membantu memahami masalah sehari-hari, maka problem solving juga merupakan cara berpikir (way of thinking). Dalam perspektif terakhir ini maka problem solving membantu kita meningkatkan kemampuan penalaran logis. Terakhir, problem solving juga memiliki nilai aestetik. Problem solving melibatkan emosi/afeksi siswa selama proses pemecahan masalah. Masalah problem solving juga dapat menantang pikiran dan bernuansa teka-teki bagi siswa sehingga dapat meningkatkan rasa penasaran, motivasi dan kegigihan untuk selalu terlibat dalam matematika.

       Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi matematika ketika menyinggung pembelajaran pemecahan masalah, namun sesungguhnya ada dua dimensi atau dua “materi” yaitu: (1) pembelajaran matematika melalui model atau strategi pemecahan masalah, dan (2) pembelajaran strategi pemecahan masalah itu sendiri. Yang pertama “pemecahan masalah” sebagai strategi atau model atau pendekatan pembelajaran, sedang yang kedua “pemecahan masalah” sebagai materi pembelajaran.

       Menurut hemat penulis kedua dimensi ini sama-sama penting, karena “materi” yang pertama terkait dengan pentingnya problem solving secara “fungsional”, sedang materi kedua terkait dengan pentingnya problem solving sebagai “logikal” dan “aestetikal”. Barangkali yang dapat dilakukan kita adalah menerapkan pembelajaran dengan model pemecahan masalah sambil mengarahkan siswa untuk memahami dan memiliki keterampilan pemecahan masalah. Mengenai model atau pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), maka berikut ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah (dalam Taplin, 2000) yaitu: 1) Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa, 2) Adanya dialog matematis dan konsensus antar siswa, 3) Guru menyediakan informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi, menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya, 4) Guru menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi, 5) Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah, 6) Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa menggunakan caranya sendiri, 7) Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem solving dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika.

       Tentunya pemecahan masalah atau problem solving ini memiliki beberapa manfaat yaitu: 1) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, 2) Mengembangkan kemampuan berpikir, 3) Melalui problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif, 4) Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun kelompok

       Sedangkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah siswa/ mahasiswa calon pendidik matematika dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis masalah (Problem Based Learning, PBL). Pendekatan berbasis masalah yang mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah yang menantang, (2) Para siswa/ mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, dan (3) Pendidik mengambil peran sebagai ”fasilitator” dalam kegiatan pembelajaran; diyakini cukup menjanjikan kemungkinan untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa.

       PBL menampilkan kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan pemecahan masalah bagi siswa/ mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan masalah tersebut mereka akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Selain itu dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PBL ini, mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan pembelajaran tradisional, PBL membantu para siswa/ mahasiswa dalam mengonstruksi pengetahuan dan ketrampilan penalaran.

Hubungan Problem Solving dengan CTL

       Pembelajaran kontekstual, atau di lebih dikenal dengan Contextual Teaching and Learning (CTL), berkembang sejak beberapa tahun lalu di Amerika Serikat. Dari segi filsafat pendidikan matematika, CTL tidak berbeda dengan RME dan dengan Pendekatan open-ended, ketiganya merupakan pembelajaran problems based dan menganut aliran konstruktivisme. Namun terdapat sedikit perbedaan terutama dalam formulasi permasalahan dan strategi pembelajarannya. Dalam pembelajaran kontekstual, kegiatan ditekankan untuk mempromosikan siswa mencapai pemahaman secara akademik di dalam atau di luar konteks sekolah melalui pemecahan masalah nyata atau yang disituasikan. Adapun karakteristik dari pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut: 1) Berbasis permasalahan kontekstual, 2) Menuntut siswa untuk menggunakan aturan sendiri dalam menyelesaikan masalah, 3) dilakukan dalam beragam situasi atau konteks, 4) Mengaitkan siswa dalam beragam konteks kehidupan, 5) Menggunakan cara belajar kelompok, 6) Menggunakan asesmen otentik.

       Dari sini terlihat bahwa hubungan antara problem solving dengan pendekatan kontekstual adalah pada cara menyelesaikan permasalahan nyata atau yang disimulasikan baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok. Aktivitas yang diciptakan dalam pengajaran kontekstual memuat strategi yang dapat membantu siswa membuat kaitan dengan peran dan tangung jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa sendiri, dan sebagai pekerja. Proses belajar yang diciptakan melalui kegiatan seperti ini secara umum bercirikan berbasis masalah.  Selain itu, pengajaran kotekstual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat tinggi; trasfer pengetahuan; dan pengumpulan, analisis, serta sintesis informasi dan data dari berbagai sumber serta sudut pandang. Dalam kaitannya dengan evaluasi, pengajaran kontekstual lebih menekankan pada authentic assessment yang diperoleh dari berbagai sumber dan pelaksanaannya menyatu atau terintegrasi dengan proses pembelajaran.

       Sehingga dengan menampilkan suatu masalah yang non rutin atau dengan kata lain soal pemecahan masalah yang kontekstual mampu menarik perhatian siswa untuk mengkaji, menyelidiki, mencari, menemukan, mensintesakan, menyimpulkan, mengaplikasikan apa yang mereka temukan dari proses pembelajaran tersebut. Sehingga mampu membangkitkan siswa untuk berfikir kritis, kreatif, logis, sistematis dan bernalar tinggi.

       Selain itu, untuk melihat pemecahan masalah matematika siswa sekolah menengah atas di Indonesia, tentu diperlukan suatu informasi tentang kemampuan berpikir siswa kita. Karena pemecahan masalah matematika berkaitan erat dengan kemampuan berpikir siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Henningsen & Stein (1997), bahwa fokus dari keterbatasan siswa adalah pada pemahaman konseptual siswa, proses pemikiran, penalaran, dan pemecahan masalah matematika. Siswa sering tidak dapat menggunakan pengetahuan matematika yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah, bahkan ketika diberikan soal yang sedikit berbeda dari apa yang dipelajari, mereka mengalami kebingungan dan tidak bisa mengerjakan.

       Soal-soal yang dikembangkan menuntut siswa berpikir tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Soal-soal yang menuntut berpikir tingkat tinggi memiliki karakteristik sebagai berikut: non algoritmik, bersifat kompleks, multiple solution (banyak solusi), melibatkan variasi pengambilan keputusan dan interpretasi, multiple criteria, dan bersifat effortful (membutuhkan banyak usaha) (Resnick, 1987). Sedangkan Yee (2000) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dalam matematika ditunjukkan siswa dalam tiga karakteristik, yaitu (1) menjelaskan, membuat dugaan, menggambarkan pola atau mengkomunikasikan ide-ide terkait dengan strategi penalaran untuk memecahkan masalah matematika, (2) mengemukakan alasan, dan (3) memilih prosedur untuk digunakan dalam menyelesaikan tugas-tugas baru dan nonrutin, memantau kemajuan dan mengevaluasi solusi suatu masalah. Karakteristik kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills yang biasa disingkat dengan HOTS dalam pendapat tersebut dikaitkan dengan kemampuan siswa dalam koneksi matematika, pemecahan masalah dan penalaran matematika, yang dicirikan dengan tugas-tugas baru dan nonrutin. Oleh karena itu kemampuan higher order thinking skills perlu dimiliki oleh siswa dan tidak cukup bagi mereka untuk mengerti saja tetapi perlu diaplikasikan.

      

B.      Identifikasi Masalah

1.       Secara Umum

Dari isu mutakhir yang telah dipaparkan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan secara umumu sebagai berikut:

a.     Adanya keterbatasan akses teknologi dalam pembelajaran matematika

b.     Adanya penyalahgunaan teknologi dalam pembelajaran matematika

c.     Rendahnya kesiapan guru dalam penggunaan teknologi

d.     Adanya kesenjangan pendidikan matematika baik secara gender, sosial ekonomi, maupun daerah

e.     Adanya anggapan bahwa mata pelajaran matematika sulit, sehingga muncul kecemasan siswa

f.      Motivasi belajar matematika rendah

g.     Pembelajaran matematika yang kurang kontekstual dan menarik

h.     Siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah

i.      Kurangnya latihan siswa dalam memecahkan soal-soal non rutin.

2.       Secara Khusus

       Dari isu mutakhir yang telah dipaparkan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan secara khusus sebagai berikut :

a.     Siswa mengalami kesulitan dalam menghadapi soal-soal pemecahan masalah,

b.     Guru berperan penting dalam menghadirkan proses pemecahan masalah pada pembelajaran matematika yaitu dengan menyediakan soal-soal yang memenuhi kriteria soal pemecahan masalah,

c.     Siswa tidak terbiasa menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah matematika berbasis HOTS,

d.     Soal-soal yang muncul belum mampu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dikarenakan masih bersihat rutin,

e.     Kemampuan pemecahan masalah belum dikembangkan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.

 

C.     Rumusan Masalah

       Dari identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah secara umum adalah sebagai berikut:

1.     Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika?

2.     Bagaimana cara mengatasi adanya kesenjangan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika?

3.     Faktor apa sajakah yang menyebabkan siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran matematika?

4.     Bagaimana cara mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran matematika?

5.     Faktor apa sajakah yang menyebabkan motivasi belajar siswa rendah dalam pembelajaran matematika?

6.     Bagaimana cara meningkatkan motivasi siswa dalam pembelajaran matematika?

7.     Bagaimana cara menerapkan pembelajaran matematika yang kontekstual dan menarik?

       Selain itu, dari identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah secara khusus adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana cara memberikan perlakuan pada siswa SMA yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS?

2.      Soal-soal pemecahan masalah seperti apakah yang konstekstual?.


 

D.     Metodologi Penelitian Pendidikan Matematika

       Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengungkapkan gejala-gejala tertentu dari suatu kelompok atau perilaku individu. Pada penelitian ini kejadian yang disurvei adalah kesulitan pemecahan masalah matematika berbasis HOTS pada siswa SMA. Dengan menganalisis kesulitan pemecahan masalah matematika siswa SMA, maka dapat diperoleh gambaran nyata dan deskripsi tentang jenis dan faktor penyebab kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika berbasis HOTS.

 

 

 

 

 

                            

                                          

       Penelitian ini didesain dengan langkah-langkah sebagai berikut.

Tahap I

Tahap II

                    

 


Tes

Wawancara

                             

  

       Keterangan:

                        : berlanjut ke proses selanjutnya

                                    : merupakan bagian dari suatu tahapan

 

Gambar 1. Desain Penelitian

Penelitian didesain atas dua tahap yakni Tahap I berupa tes dan Tahap II berupa wawancara. Tes dilakukan kepada subjek penelitian dan wawancara dilakukan kepada unit subjek penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan di SMA di Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Februari-Juli 2025. Berikut outline rencana penelitian:


 

No

Kegiatan

Jadwal penelitian tahun 2025

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun

Jul

Ags

Sep

Okt

Nov

Des

 

1

Seminar Proposal

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2

Persiapan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pengumpulan data dan informasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Literatur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lapangan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3

Pengolahan data, analisis dan penyusunan desertasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4

Seminar Hasil

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA di Kabupaten Sleman. Berhubung populasi besar maka pengambilan sampel dilakukan agar benar-benar mewakili populasi, yaitu pengambilan sampel dengan memperhatikan strata-strata dalam populasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik stratified proportional random sampling atau sampel acak proporsional berstrata. Teknik tersebut merupakan gabungan dari stratified sampling (teknik sampling bertingkat) dan proportional sampling (teknik sampling proporsional) dilanjutkan dengan random sampling (teknik sampling acak).

       Pengambilan sampel dengan stratified sampling ditentukan dengan mengelompokkan strata sekolah berdasarkan ranking perolehan nilai Matematika pada Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK).

 

 

 

       Instrumen yang digunakan adalah tes diagnostik dan pedoman wawancara.

a.       Tes Diagnostik

Tes diagnostik merupakan tes yang dirancang untuk keperluan mendiagnosa jenis dan faktor kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika berbasis HOTS. Tes berbentuk soal esai, terdiri atas 5 butir soal.

Langkah-langkah penyusunan instrumen pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a.       Menyusun kisi-kisi soal berdasarkan KI dan KD matematika kelas X semester 1 dan rubrik penskoran.

b.       Menyusun instrumen berdasarkan kisi-kisi.

c.       Diskusi dengan guru dan dosen untuk mendapatkan masukan.

d.       Konsultasi dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan masukan dan saran perbaikan.

e.       Memvalidasi instrumen dan melakukan perbaikan.

 

b.       Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan sebagai panduan umum proses wawancara terhadap unit subjek penelitian yang mewakili siswa dari tingkat kepandaian tinggi, sedang, rendah yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS. Pada tahap ini akan dipilih masing-masing dua unit subjek penelitian untuk mewakili strata tinggi, sedang, dan rendah, sehingga terdapat enam unit subjek penelitian yang akan diwawancarai secara mendalam. Pengumpulan data melalui wawancara (tanya jawab), dilakukan untuk mempertegas jenis dan faktor kesulitan yang dihadapi siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS. Wawancara dilakukan pada saat siswa setelah selesai menyelesaikan soal dan hal ini dilakukan dengan kesepakatan antara siswa, guru matematika dan peneliti.

Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada unit sampel penelitian dan difokuskan pada: (1) informasi yang diketahui dalam soal, (2) pertanyaan yang dimaksud dalam soal, (3) langkah-langkah memecahkan soal matematika, (4) alasan menggunakan langkah penyelesaian soal. Untuk informasi yang diberikan dalam soal akan ditanyakan maksud dari kata-kata, simbol/notasi, serta konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika. Wawancara diupayakan dapat mengungkap berbagai kesulitan siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS.

Data penelitian berupa hasil jawaban siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS yang akan dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis tersebut digunakan untuk memperoleh deskripsi dari jenis dan faktor kesulitan yang dihadapi siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS pada siswa dengan tingkat kepandaian tinggi, sedang, dan rendah.

Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data, agar data yang diperoleh tersusun secara sistematis dan lebih mudah ditafsirkan sesuai dengan rumusan masalah. Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.

1.       Mengumpulkan dan memformulasikan semua data yang diperoleh dari lapangan. Data yang diperoleh meliputi hasil tes dan hasil wawancara.

a.   Memeriksa hasil tes diagnostik kesulitan pemecahan masalah matematika berbasis HOTS (benar, salah dan tidak mengerjakan).

b.   Menganalisis hasil tes diagnostik berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

c.   Mengidentifikasi jenis kesulitan siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS yang meliputi kesulitan membaca, pemahaman, transformasi, keterampilan proses, dan penarikan kesimpulan. Jenis kesulitan membaca terjadi jika siswa tidak mampu menyebutkan informasi dalam soal, yaitu membaca kata kunci atau simbol pada soal. Jenis kesulitan pemahaman terjadi jika siswa tidak dapat memahami dan menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan pada soal. Jenis kesulitan transformasi terjadi jika siswa tidak mampu mengidentifikasi operasi atau pola operasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Jenis kesulitan keterampilan proses terjadi jika tidak mengetahui prosedur yang diperlukan untuk menyelesaikan operasi tersebut secara akurat. Pada tahap ini dapatkah siswa menunjukkan perhitungan atau prosedur matematis dengan tepat. Jenis kesulitan pengkodean terjadi jika siswa tidak dapat menyajikan dan menyimpulkan jawaban dengan tepat.

d.   Menyajikan data jenis kesulitan pemecahan masalah matematika berbasis HOTS dalam bentuk tabel. Pada tabel memuat banyak siswa dan persentase siswa yang mengalami kesulitan.

e.   Melakukan wawancara.

f.    Menganalisis hasil wawancara.

2.       Data yang telah dikumpulkan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian singkat dengan teks yang bersifat naratif. Analisis data dalam penelitian ini juga dilakukan secara deskriptif analitik. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir hasil tes dan hasil wawancara.

3.       Berdasarkan penyajian data tersebut, selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan terhadap jenis dan faktor kesulitan yang dominan dihadapi siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS. Pada tahap ini diadakan penarikan kesimpulan berdasarkan analisis terhadap data yang telah dikumpulkan, baik melalui tes maupun wawancara.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Bell, F. H. (1978). Teaching and learning mathematics (in secondary school). Iowa: Brown Company Publisher.

 

Erman Suherman, et. al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:          JICA UPI.

 

Henningsen, M., & Stein, M. K. (1997). Mathematical tasks and student cognition classroom-based factors that support and inhibit high level mathematical thinking and reasoning. Journal for Research in Mathematics Education, 28(5), 524-549.

 

Herman Hudojo. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Malang.

 

Kirkley, Jamie. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Plato Learning, Inc.

 

Lubienski, S.T. (2000). Problem solving as a means toward mathematics for all:    an exploratory look through a class lens. Journal for Research in Mathematics Education, 31(4), 454–482.

 

Mendikbud. (2013a). Lampiran peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan     nomor 65, tahun 2013, tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.

 

Mulyasa, E. (2006). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan      Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principle and standards for school mathematics. Reston: NCTM .

 

Polya, G. (1973). How To Solve It (2nd Ed). Princeton: Princeton University Press.

 

Resnick, L.B. (1987). Educational and learning to think. Washington, D.C.: National Academic Press Inc.

 

Taplin, Margaret. (2000). Mathematics Through Problem solving. Dalam http://www.mathgoodies.com/articles/ diakses pada 1 Oktober 2024.

 

Yee, F.P. (2000). Open-ended problem for higher order thinking in mathematics. Teaching and Learning, 20(2), 49-57.