Disusun oleh Samsul Feri Apriyadi
Mata Kuliah Filsafat dan Isu Kontemporer Pendidikan
Matematika
Prodi S3 Pendidikan Matematika UNY
Dosen Pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
A.
Isu Mutakhir Pembelajaran Matematika
1.
Secara Umum
Isu
Mutakhir dalam pembelajaran matematika mencakup berbagai tantangan dan
perkembangan yang mempengaruhi bagaimana matematika diajarkan dan dipelajari di
seluruh dunia. Beberapa isu tersebut berkaitan dengan kemajuan teknologi,
perubahan kebijakan pendidikan, pergeseran paradigma dalam cara belajar, serta
masalah kesenjangan dalam pendidikan matematika. Berikut adalah beberapa isu
mutakhir yang relevan dalam pembelajaran matematika yang teridentivikasi dari
referensi, perkuliahan, pengalaman, dan fakta lapangan saat ini, yaitu:
a.
Pemanfaatan
Teknologi dalam Pembelajaran Matematika
Penggunaan
teknologi dalam pembelajaran matematika semakin meluas, baik melalui platform
pembelajaran online, aplikasi matematika, virtual reality (VR), dan augmented
reality (AR). Meskipun teknologi dapat meningkatkan pemahaman konsep
matematika secara visual dan interaktif, ada beberapa tantangan terkait
penerapannya, seperti:
· Keterbatasan Akses
Tidak semua sekolah dan
siswa memiliki akses yang sama terhadap teknologi. Keterbatasan akses antara
daerah kaya dan miskin atau antara siswa dengan akses internet yang memadai dan
yang tidak, bisa menjadi hambatan signifikan dalam penerapan teknologi dalam
pendidikan matematika.
- Penyalahgunaan Teknologi
Perkembangan teknologi yang pesat, tentu ada dampak posistif maupun
negative. Jika terlalu bergantung pada teknologi bisa mengurangi kemampuan
siswa untuk berpikir kritis dan melemahkan kemampuan berhitung manual siswa.
Sehingga, ada kekhawatiran bahwa penyalahgunaan teknologi untuk pemecahan
masalah matematika bisa mengurangi pemahaman mendalam tentang konsep-konsep
dasar matematika.
- Kesiapan Guru
Banyak guru belum terlatih dengan baik untuk
memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pembelajaran matematika.
b.
Adanya Kesenjangan
Pendidikan Matematika
Isu
kesenjangan pendidikan matematika, baik dalam hal akses maupun kemampuan, terus
menjadi masalah, contoh kesenjangan tersebut seperti:
- Kesenjangan Antargender
Masih ada stereotip yang berkembang di beberapa budaya bahwa matematika
lebih cocok untuk anak laki-laki daripada perempuan. Ini berkontribusi pada
kesenjangan gender dalam prestasi matematika, meskipun tren ini perlahan mulai
berubah seiring dengan peningkatan kesadaran dan kebijakan untuk mempromosikan
inklusi gender dalam pendidikan.
- Kesenjangan Sosial-Ekonomi:
Anak-anak dari keluarga dengan latar belakang sosial-ekonomi rendah
seringkali tidak memiliki akses ke pendidikan matematika yang berkualitas,
seperti bimbingan belajar, kursus tambahan, atau sumber daya digital. Ini dapat
mempengaruhi kinerja mereka dalam matematika dan memperburuk ketimpangan dalam
pencapaian akademik.
- Kesenjangan Daerah
Di negara indonesia, pendidikan matematika di daerah pedesaan atau
terpencil masih tertinggal dibandingkan dengan kota besar. Kurangnya
infrastruktur, akses ke buku dan teknologi, serta keterbatasan pelatihan guru,
memperburuk kesenjangan ini.
c.
Adanya
anggapan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit
Matematika
sering dianggap sebagai mata pelajaran yang sulit, yang mengarah pada kecemasan
matematika di kalangan siswa. Isu ini sangat relevan, karena kecemasan dapat
memengaruhi motivasi dan prestasi siswa dalam mata pelajaran ini. Banyak siswa
yang merasa tertekan atau cemas saat belajar matematika, yang dapat menghalangi
kemampuan mereka untuk memahami konsep-konsep matematika. Hal ini dapat berakar
dari pengalaman buruk sebelumnya, pengajaran yang tidak sesuai, atau bahkan
stigma sosial terkait dengan kemampuan matematika.
Selain itu, beberapa siswa merasa bahwa matematika tidak relevan dengan
kehidupan sehari-hari mereka. Pendekatan pengajaran yang tidak menghubungkan
konsep matematika dengan dunia nyata dapat menyebabkan siswa merasa kurang
termotivasi untuk mempelajarinya.
d.
Kurangnya
Pembelajaran Matematika yang Kontekstual dan Menarik
Masih
banyak pembelajaran matematika yang terfokus pada penghafalan rumus dan
prosedur tanpa memberi kontekstualisasi atau penerapan dunia nyata. Isu ini
mempengaruhi minat siswa dalam mempelajari matematika dan berkontribusi pada
ketidakmampuan mereka untuk melihat relevansi matematika dalam kehidupan
sehari-hari. Sering kali, matematika diajarkan tanpa menghubungkannya dengan
aplikasi praktis yang relevan dengan kehidupan siswa. Misalnya, mengajarkan
statistik atau aljabar dalam konteks perencanaan anggaran pribadi, analisis
data, atau bahkan dalam olahraga dan teknologi.
Padahal matematika tidak hanya tentang mempelajari rumus dan prosedur,
tetapi juga tentang bagaimana menggunakan pengetahuan tersebut untuk memecahkan
masalah yang kompleks. Oleh karena itu, pendidikan matematika yang inovatif
perlu menekankan pemecahan masalah daripada hanya sekadar menghafal formula.
Dengan demikian isu
mutakhir dalam pembelajaran matematika melibatkan berbagai faktor yang
berinteraksi, termasuk kemajuan teknologi, tantangan kesenjangan pendidikan,
kebutuhan akan pendidikan yang lebih relevan dengan dunia kerja, serta
pentingnya membuat pembelajaran matematika lebih menarik dan kontekstual. Untuk
mengatasi isu-isu ini, perlu ada pendekatan yang lebih inklusif, adaptif, dan
berbasis teknologi yang memfasilitasi pembelajaran matematika yang lebih baik
bagi semua siswa, dengan tujuan untuk mempersiapkan mereka menghadapi tantangan
abad ke-21.
2. Secara
Khusus
Matematika sebagai ilmu dasar dianggap begitu penting dalam
kehidupan, sehingga dibutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten
dibidang matematika. Selain itu, matematika merupakan salah satu sarana untuk
mengembangkan cara berpikir yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui belajar matematika, siswa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
berpikir sistematis, logis, dan kritis, khususnya dalam mengkomunikasikan
gagasan atau dalam pemecahan masalah. Selain itu, kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, mengharuskan siswa untuk menggunakan pengetahuan dan
keterampilan matematika agar mereka dapat menyelesaikan setiap permasalahan
yang muncul dalam kehidupan khususnya yang berkaitan pada pemanfaatan
matematika. Mereka membutuhkan matematika untuk digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, karena matematika dapat digunakan dalam berbagai hal. Menurut National
Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000: 5) bahwa “in this changing world, those who understand
and can do mathematics will have significantly enhanced opportunities and
option for shaping their futures”. Maksudnya bahwa dalam perubahan zaman,
orang-orang yang memiliki pemahaman dan mampu menerapkan matematika dalam
segala hal akan mempunyai peluang yang signifikan dalam memilih apa yang hendak
dia capai dalam masa depannya.
Kebutuhan akan pemahaman dan penggunaan matematika dalam
kehidupan, menjadikan pembelajaran matematika di sekolah diharapkan mampu
memberikan siswa kesempatan untuk memahami dan menerapkan matematika di
kehidupan. NCTM (2000), menetapkan bahwa kemampuan matematika yang harus
dimiliki oleh siswa, yaitu pemecahan masalah (problem solving),
komunikasi (communication), koneksi (connection), penalaran (reasoning),
dan representasi (representation). Berdasarkan uraian di atas, salah
satu kemampuan yang wajib dimiliki oleh siswa dalam bidang matematika adalah pemecahan masalah.
Pemecahan masalah bukan sekedar topik saja, melainkan suatu
proses yang harus ada dan diterapkan dalam semua konteks dimana konsep, prinsip
dan keterampilan dipelajari. Menurut Permendikbud Nomor 65 tahun 2013 bahwa
dalam setiap kegiatan inti pembelajaran hendaknya terdapat pemecahan masalah
yang disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Hal
ini menunjukkan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan salah satu
kemampuan yang penting dikembangkan dan dimiliki oleh siswa. Sehingga pemecahan
masalah menjadi tujuan utama dari semua pembelajaran dan aktivitas matematika.
Menurut NCTM (2000) pemecahan masalah merupakan bagian
integral dalam pembelajaran matematika, artinya pemecahan masalah tidak boleh
dilepaskan dari pembelajaran matematika. Pentingnya kemampuan pemecahan masalah
ini memberikan akibat pada siswa untuk belajar sesuatu yang baru. Bell (1978)
menyatakan bahwa pemecahan masalah matematika dapat membantu siswa dalam
mengembangkan kemampuan mereka, serta dapat membantu dalam mengaplikasikan
kemampuan mereka pada berbagai situasi. Pemecahan masalah penting dalam matematika
karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah
dimiliki untuk diterapkan pada situasi yang baru. Siswa memiliki kesempatan
untuk merumuskan, merencanakan, menerapkan, dan melihat kembali solusi yang
sudah dibuat.
Pemecahan masalah mengharuskan siswa mengolah dan
mengembangkan pengetahuan yang sudah ada, sehingga memungkinkan mereka untuk
bekerja dengan berbagai proses, konsep, dan strategi. Hal ini senada dengan
pendapat Lubienski (2000) bahwa pemecahan masalah (problem solving) merupakan alat untuk belajar konten dan proses
dalam matematika. Hal ini melihat problem
solving sebagai usaha untuk membantu siswa menerapkan apa yang
dipelajarinya untuk diterapkan dalam kehidupan sebagai manfaat dari belajar
matematika.
Selain itu posisi penting pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika mengharuskan guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk memecahkan
masalah. Guru berperan penting dalam menghadirkan proses pemecahan masalah pada
pembelajaran matematika yaitu dengan menyediakan soal-soal yang memenuhi
kriteria soal pemecahan masalah. Pemecahan masalah matematika siswa akan muncul
seiring dengan masalah-masalah matematika yang harus diselesaikan siswa,
sehingga untuk mengembangkan pemecahan masalah matematika, perlu diketahui cara
yang dimunculkan siswa dalam menjawab, alur, dan proses berpikir siswa.
Menurut Gagne (Mulyasa, 2006: 111), kalau seorang siswa
dihadapkan pada suatu masalah, pada akhirnya mereka bukan hanya sekedar
memecahkan masalah, tetapi juga belajar sesuatu yang baru.
Pemecahan masalah memegang peranan penting dalam pelajaran
eksak maupun non eksak. Menurut NCTM (2000: 335), pemecahan masalah dalam
pembelajaran matematika memiliki fungsi sebagai berikut:
1.
Pemecahan masalah adalah alat penting
mempelajari matematika.
Banyak
konsep matematika yang dapat dikenalkan secara efektif kepada siswa melalui
pemecahan masalah.
2.
Pemecahan masalah dapat membekali siswa
dengan pengetahuan dan alat sehinggga siswa dapat memformulasikan, mendekati,
dan menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah mereka pelajari di sekolah.
Menurut Gagne
(Erman Suherman, 2003: 34), menyatakan bahwa langkah yang harus
dilakukan dalam pemecahan masalah matematis yaitu:
1.
menyajikan masalah dalam bentuk yang
jelas;
2.
menyatakan masalah dalam bentuk yang
operasional;
3.
menyusun hipotesis-hipotesis alternatif
dan prosedur kerja yang diperkirakan baik;
4.
mengetes hipotesis dan melakukan kerja
untuk memperoleh hasilnya;
5.
mengecek kembali hasil yang diperoleh.
Sedangkan menurut Polya (1973), langkah-langkah penyelesaian
masalah yang terdapat dalam buku ”How to Solve It” meliputi: (1)
understanding the problem, (2) devising a plan, (3) carrying out the plan, (4)
looking back. Maksudnya dalam
pemecahan masalah memuat empat langkah yaitu: (1) memahami masalah; (2)
merencanakan penyelesaian; (3) meyelesaikan masalah sesuai rencana; dan (4)
melakukan pengecekan kembali.
Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis siswa,
digunakan suatu soal pemecahan masalah.
Jika suatu masalah diberikan kepada
siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan
benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai soal pemecahan masalah.
Menurut Herman Hudojo (2003: 149), soal-soal matematika dibedakan menjadi dua
yaitu: (1) soal latihan; dan (2) masalah. Soal latihan diberikan pada waktu
siswa belajar matematika. Soal ini melatih siswa agar terampil atau sebagai
aplikasi dari pengertian yang baru saja diajarkan. Berbeda dengan soal latihan,
masalah tadi menghendaki siswa untuk menggunakan sintesis dan analisis. Untuk
menyelesaikan suatu masalah, siswa harus menguasai hal-hal yang telah
dipelajari sebelumnya yaitu mengenai pengetahuan, ketrampilan dan pemahaman,
tetapi dalam hal ini ia menggunakannya pada situasi baru.
Jadi sebuah soal dikatakan bukan “masalah” bagi seseorang
umumnya bila soal tersebut terlalu mudah baginya. Suatu soal bersifat mudah,
biasanya karena soal tersebut telah sering (rutin) dipelajari dan bersifat
teknis. Umumnya, tipe soal ingatan dan tipe soal prosedural termasuk kelompok
soal-soal rutin (routine problems), yaitu soal-soal yang tergolong mudah
dan kurang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam hal pemecahan masalah.
Sementara soal tipe terapan umumnya masih sebatas melatih kemampuan siswa
menerjemahkan situasi masalah ke dalam model matematika. Soalsoal dengan tipe
terbuka dan tipe situasi termasuk soal-soal yang cocok untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah.
Kirkley (2003) menyebutkan bahwa model pemecahan masalah yang
umum pada tahun 60-an, adalah Bransford’s IDEAL model, yaitu: (1) Identify
the problem, (2) Define the problem through thinking about
it and sorting out the relevant information, (3) Explore
solutions through looking at alternatives, brainstorming, and checking out
different points of view, (4) Act on the strategies, and (5)
Look back and evaluate the effects of your activity.
Sedangkan model pemecahan masalah yang
lain, yang akhir-akhir sering digunakan adalah model dari Gick (Kirkley, 2003).
Dalam model ini urutan dasar dari tiga kegiatan kognitif dalam pemecahan
masalah, yaitu: (1) Menyajikan masalah, termasuk memanggil kembali konteks
pengetahuan yang sesuai, dan mengidentifikasi tujuan dan kondisi awal yang
relevan dari masalah tersebut, (2) Mencari penyelesaian, termasuk memperhalus
tujuan dan mengembangkan suatu rencana untuk bertindak guna mencapai tujuan,
dan (3) Menerapkan penyelesaian, termasuk melaksanakan rencana dan menilai
hasilnya.
Menyangkut strategi untuk menyelesaikan masalah, Erman Suherman,
dkk. (2003) antara lain menyebutkan beberapa strategi pemecahan masalah, yaitu:
(1) Act it Out (menggunakan gerakan fisik atau menggerakkan benda
kongkrit), (2) Membuat gambar dan diagram, (3) Menemukan pola, (4) Membuat
tabel, (5) Memperhatikan semua kemungkinan secara sistematis, (6) Tebak dan
periksa, (7) Kerja mundur, (8) Menentukan apa yang diketahui, apa yang
ditanyakan, dan informasi yang diperlukan, (9) Menggunakan kalimat terbuka,
(10) Menyelesaikan masalah yang mirip atau yang lebih mudah, dan (11) Mengubah
sudut pandang. Para guru dapat memberikan masalah yang beragam cara
penyelesaiannya, sehingga para siswa berkesempatan untuk mencoba beberapa
strategi untuk mendapatkan berbagai pengalaman belajar. Jika ditinjau dari
jenis masalah yang diselesaikannya
Kirkley (2003) menyebutkan ada 3 jenis masalah, yaitu: (1)
Masalah-masalah yang terstruktur dengan baik (well structured problems),
(2) Masalah-masalah yang terstruktur secara cukup (moderately structured
problems), dan (3) Masalah-masalah yang strukturnya jelek (ill
structured problems). Masalah yang terstuktur dengan baik, strategi untuk
menyelesaikannya biasanya dapat diduga, mempunyai satu jawaban yang benar, dan
semua informasi awal biasanya bagian dari pernyataan masalahnya. Masalah yang
terstruktur secara cukup, sering mempunyai lebih dari satu strategi
penyelesaian yang cocok, mempunyai satu jawaban yang benar, dan masih
memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya. Masalah-masalah yang
strukturnya jelek, penyelesaiannya tidak terdefinisi dengan baik dan tidak
terduga, mempunyai banyak perspekif, banyak tujuan, dan banyak penyelesaian,
serta masih memerlukan informasi tambahan untuk menyelesaikannya.
Demikian pentingnya aspek pemecahan masalah ini dalam belajar
matematika, sehingga NCTM (2000) menyebutkan bahwa program-program pembelajaran
dari pra TK hingga kelas 12 seharusnya memungkinkan semua siswa untuk mampu:
(1) Membangun pengetahuan matematis yang baru melalui pemecahan masalah, (2)
Memecahkan permasalahan yang muncul di dalam matematika dan di dalam
konteks-konteks lain, (3) Menerapkan dan mengadaptasi beragam strategi yang
sesuai untuk memecahkan permasalahan, dan (4) Memonitor dan merefleksi pada
proses pemecahan masalah matematis.
Menurut Polya, pekerjaan pertama seorang guru matematika
adalah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membangun kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah. Mengapa hal ini menjadi penting? Alasan pertama adalah
karena siswa (bahkan guru, kepala sekolah, orang tua, dan setiap orang) setiap
harinya selalu dihadapkan pada suatu masalah, disadari atau tidak. Karena itu
pembelajaran pemecahan masalah sejak dini diperlukan agar siswa dapat
menyelesaikan problematika kehidupannya dalam arti yang luas maupun sempit.
Dalam pembelajaran
matematika ini aspek pemecahan masalah menjadi semakin penting. Mengapa? Ini
dikarenakan matematika merupakan pengetahuan yang logis, sistematis, berpola,
artifisial, abstrak, dan yang tak kalah penting menghendaki justifikasi atau
pembuktian. Sifat-sifat matematika ini menuntut pembelajar menggunakan
kemampuan-kemampuan dasar dalam pemecahan masalah, seperti berpikir logis,
berpikir strategik. Selain itu secara timbal balik maka dengan mempelajari
matematika, siswa terasah kemampuan dalam memecahkan masalah. Hal ini
dikarenakan strategi dalam pemecahan masalah matematika bersifat “universal”
sesuai sifat matematika sebagai bahasa yang universal (artifisial, simbolik).
Dengan fokus pada problem solving maka matematika
sebagai alat dalam memecahkan masalah dapat diadaptasi pada berbagai konteks
dan masalah sehari-hari. Selain sebagai “alat” untuk meningkatkan pengetahuan
matematika dan membantu memahami masalah sehari-hari, maka problem solving juga
merupakan cara berpikir (way of thinking). Dalam perspektif terakhir ini
maka problem solving membantu kita meningkatkan kemampuan penalaran
logis. Terakhir, problem solving juga memiliki nilai aestetik. Problem
solving melibatkan emosi/afeksi siswa selama proses pemecahan masalah.
Masalah problem solving juga dapat menantang pikiran dan bernuansa
teka-teki bagi siswa sehingga dapat meningkatkan rasa penasaran, motivasi dan
kegigihan untuk selalu terlibat dalam matematika.
Walaupun secara umum para pendidik hanya terfokus pada materi
matematika ketika menyinggung pembelajaran pemecahan masalah, namun
sesungguhnya ada dua dimensi atau dua “materi” yaitu: (1) pembelajaran
matematika melalui model atau strategi pemecahan masalah, dan (2)
pembelajaran strategi pemecahan masalah itu sendiri. Yang pertama “pemecahan
masalah” sebagai strategi atau model atau pendekatan pembelajaran, sedang yang
kedua “pemecahan masalah” sebagai materi pembelajaran.
Menurut hemat penulis kedua dimensi ini sama-sama penting,
karena “materi” yang pertama terkait dengan pentingnya problem solving secara
“fungsional”, sedang materi kedua terkait dengan pentingnya problem solving sebagai
“logikal” dan “aestetikal”. Barangkali yang dapat dilakukan kita adalah
menerapkan pembelajaran dengan model pemecahan masalah sambil mengarahkan siswa
untuk memahami dan memiliki keterampilan pemecahan masalah. Mengenai model atau
pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach), maka berikut
ini karakteristik khusus pendekatan pemecahan masalah (dalam Taplin, 2000)
yaitu: 1) Adanya interaksi antar siswa dan interaksi guru dan siswa, 2) Adanya
dialog matematis dan konsensus antar siswa, 3) Guru menyediakan informasi yang
cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi, menginterpretasi, dan
mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya, 4) Guru menerima jawaban ya-tidak bukan
untuk mengevaluasi, 5) Guru membimbing, melatih dan menanyakan dengan
pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan berbagi dalam proses pemecahan masalah, 6)
Sebaiknya guru mengetahui kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa
menggunakan caranya sendiri, 7) Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan problem
solving dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi aturan dan
konsep, sebuah proses sentral dalam matematika.
Tentunya pemecahan masalah atau problem solving ini memiliki beberapa manfaat yaitu: 1) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan,
2)
Mengembangkan kemampuan
berpikir,
3) Melalui problem solving
kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener
dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif,
4) Membina pengembangan sikap
perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif – mandiri, krisis –
analisis baik secara individual maupun kelompok
Sedangkan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
siswa/ mahasiswa calon pendidik matematika dapat dilakukan melalui pendekatan
berbasis masalah (Problem Based Learning, PBL). Pendekatan berbasis
masalah yang mempunyai karakteristik: (1) Pembelajaran dipandu oleh masalah
yang menantang, (2) Para siswa/ mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, dan (3)
Pendidik mengambil peran sebagai ”fasilitator” dalam kegiatan pembelajaran;
diyakini cukup menjanjikan kemungkinan untuk dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa.
PBL menampilkan kegiatan pembelajaran sebagai kegiatan
pemecahan masalah bagi siswa/ mahasiswa. Dalam rangka untuk menyelesaikan
masalah tersebut mereka akan belajar dalam kelompok kecil, saling mengajukan
ide kreatif mereka, berdiskusi, dan berfikir secara kritis (Roh, 2003). Selain
itu dalam kegiatan pembelajaran dengan pendekatan PBL ini, mereka mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk belajar proses matematika yang berkaitan
dengan komunikasi, representasi, pemodelan, dan penalaran. Dibandingkan pendekatan
pembelajaran tradisional, PBL membantu para siswa/ mahasiswa dalam
mengonstruksi pengetahuan dan ketrampilan penalaran.
Hubungan
Problem Solving dengan CTL
Pembelajaran kontekstual, atau di lebih dikenal dengan
Contextual Teaching and Learning (CTL), berkembang sejak beberapa tahun
lalu di Amerika Serikat. Dari segi filsafat pendidikan matematika, CTL tidak
berbeda dengan RME dan dengan Pendekatan open-ended, ketiganya merupakan
pembelajaran problems based dan menganut aliran konstruktivisme. Namun
terdapat sedikit perbedaan terutama dalam formulasi permasalahan dan strategi
pembelajarannya. Dalam pembelajaran kontekstual, kegiatan ditekankan untuk
mempromosikan siswa mencapai pemahaman secara akademik di dalam atau di luar
konteks sekolah melalui pemecahan masalah nyata atau yang disituasikan. Adapun
karakteristik dari pembelajaran kontekstual adalah sebagai berikut: 1) Berbasis
permasalahan kontekstual, 2) Menuntut siswa untuk menggunakan aturan sendiri
dalam menyelesaikan masalah, 3) dilakukan dalam beragam situasi atau konteks,
4) Mengaitkan siswa dalam beragam konteks kehidupan, 5) Menggunakan cara
belajar kelompok, 6) Menggunakan asesmen otentik.
Dari sini terlihat bahwa hubungan antara problem solving
dengan pendekatan kontekstual adalah pada cara menyelesaikan permasalahan nyata
atau yang disimulasikan baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok.
Aktivitas yang diciptakan dalam pengajaran kontekstual memuat strategi yang
dapat membantu siswa membuat kaitan dengan peran dan tangung jawab mereka
sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa sendiri, dan sebagai pekerja.
Proses belajar yang diciptakan melalui kegiatan seperti ini secara umum bercirikan
berbasis masalah. Selain itu,
pengajaran kotekstual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat
tinggi; trasfer pengetahuan; dan pengumpulan, analisis, serta sintesis
informasi dan data dari berbagai sumber serta sudut pandang. Dalam kaitannya
dengan evaluasi, pengajaran kontekstual lebih menekankan pada authentic
assessment yang diperoleh dari berbagai sumber dan pelaksanaannya menyatu
atau terintegrasi dengan proses pembelajaran.
Sehingga dengan menampilkan suatu masalah yang non rutin atau
dengan kata lain soal pemecahan masalah yang kontekstual mampu menarik
perhatian siswa untuk mengkaji, menyelidiki, mencari, menemukan, mensintesakan,
menyimpulkan, mengaplikasikan apa yang mereka temukan dari proses pembelajaran
tersebut. Sehingga mampu membangkitkan siswa untuk berfikir kritis, kreatif,
logis, sistematis dan bernalar tinggi.
Selain itu, untuk melihat pemecahan masalah matematika siswa
sekolah menengah atas di Indonesia, tentu diperlukan suatu informasi tentang
kemampuan berpikir siswa kita. Karena pemecahan masalah matematika berkaitan
erat dengan kemampuan berpikir siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Henningsen
& Stein (1997), bahwa fokus dari keterbatasan siswa adalah pada pemahaman
konseptual siswa, proses pemikiran, penalaran, dan pemecahan masalah
matematika. Siswa sering tidak dapat menggunakan pengetahuan matematika yang
dimilikinya untuk menyelesaikan masalah, bahkan ketika diberikan soal yang
sedikit berbeda dari apa yang dipelajari, mereka mengalami kebingungan dan
tidak bisa mengerjakan.
Soal-soal yang dikembangkan menuntut siswa berpikir tingkat
rendah sampai tingkat tinggi. Soal-soal yang menuntut berpikir tingkat tinggi
memiliki karakteristik sebagai berikut: non algoritmik, bersifat kompleks, multiple solution (banyak solusi),
melibatkan variasi pengambilan keputusan dan interpretasi, multiple criteria, dan bersifat effortful
(membutuhkan banyak usaha) (Resnick, 1987). Sedangkan Yee (2000) mengungkapkan
bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher
order thinking skills) dalam
matematika ditunjukkan siswa dalam tiga karakteristik, yaitu (1) menjelaskan,
membuat dugaan, menggambarkan pola atau mengkomunikasikan ide-ide terkait
dengan strategi penalaran untuk memecahkan masalah matematika, (2) mengemukakan
alasan, dan (3) memilih prosedur untuk digunakan dalam menyelesaikan
tugas-tugas baru dan nonrutin, memantau kemajuan dan mengevaluasi solusi suatu
masalah. Karakteristik kemampuan berpikir tingkat tinggi atau higher order thinking skills yang biasa
disingkat dengan HOTS dalam pendapat
tersebut dikaitkan dengan kemampuan siswa dalam koneksi matematika, pemecahan
masalah dan penalaran matematika, yang dicirikan dengan tugas-tugas baru dan
nonrutin. Oleh karena itu kemampuan higher
order thinking skills perlu dimiliki oleh siswa dan tidak cukup bagi mereka
untuk mengerti saja tetapi perlu diaplikasikan.
B.
Identifikasi
Masalah
1. Secara
Umum
Dari isu mutakhir
yang telah dipaparkan di atas, dapat diidentifikasi permasalahan secara umumu
sebagai berikut:
a. Adanya
keterbatasan akses teknologi dalam pembelajaran matematika
b. Adanya
penyalahgunaan teknologi dalam pembelajaran matematika
c. Rendahnya
kesiapan guru dalam penggunaan teknologi
d. Adanya
kesenjangan pendidikan matematika baik secara gender, sosial ekonomi, maupun
daerah
e. Adanya
anggapan bahwa mata pelajaran matematika sulit, sehingga muncul kecemasan siswa
f. Motivasi
belajar matematika rendah
g. Pembelajaran
matematika yang kurang kontekstual dan menarik
h. Siswa
kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah
i. Kurangnya
latihan siswa dalam memecahkan soal-soal non rutin.
2. Secara
Khusus
Dari isu mutakhir yang telah dipaparkan
di atas, dapat diidentifikasi permasalahan secara khusus sebagai berikut :
a.
Siswa mengalami kesulitan dalam menghadapi
soal-soal pemecahan masalah,
b.
Guru berperan penting dalam menghadirkan
proses pemecahan masalah pada pembelajaran matematika yaitu dengan menyediakan
soal-soal yang memenuhi kriteria soal pemecahan masalah,
c.
Siswa tidak terbiasa menyelesaikan
soal-soal pemecahan masalah matematika berbasis HOTS,
d.
Soal-soal yang muncul belum mampu
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dikarenakan masih
bersihat rutin,
e.
Kemampuan pemecahan masalah belum
dikembangkan secara maksimal dalam kehidupan sehari-hari.
C. Rumusan
Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka
rumusan masalah secara umum adalah sebagai berikut:
1.
Faktor apa sajakah yang menyebabkan
terjadinya kesenjangan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika?
2.
Bagaimana cara mengatasi adanya
kesenjangan pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran matematika?
3.
Faktor apa sajakah yang menyebabkan siswa
mengalami kesulitan dalam pembelajaran matematika?
4.
Bagaimana cara mengatasi kesulitan siswa
dalam pembelajaran matematika?
5.
Faktor apa sajakah yang menyebabkan
motivasi belajar siswa rendah dalam pembelajaran matematika?
6.
Bagaimana cara meningkatkan motivasi siswa
dalam pembelajaran matematika?
7.
Bagaimana cara menerapkan pembelajaran
matematika yang kontekstual dan menarik?
Selain
itu, dari identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah secara khusus adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana
cara memberikan perlakuan pada siswa SMA yang mengalami kesulitan dalam
memecahkan masalah matematika berbasis HOTS?
2. Soal-soal
pemecahan masalah seperti apakah yang konstekstual?.
D. Metodologi
Penelitian Pendidikan Matematika
Penelitian ini merupakan
penelitian survei dengan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif
digunakan untuk mengungkapkan gejala-gejala tertentu dari suatu kelompok atau
perilaku individu. Pada penelitian
ini kejadian yang disurvei adalah kesulitan pemecahan masalah matematika
berbasis HOTS pada siswa SMA. Dengan
menganalisis kesulitan pemecahan masalah matematika siswa SMA, maka dapat diperoleh gambaran nyata dan deskripsi tentang jenis dan
faktor penyebab kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika berbasis
HOTS.
Tahap I Tahap II
Tes Wawancara
Keterangan:
Gambar 1. Desain
Penelitian
Penelitian
didesain atas dua tahap yakni Tahap I berupa tes dan Tahap II berupa wawancara.
Tes dilakukan kepada subjek penelitian dan wawancara dilakukan kepada unit
subjek penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA di
Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini
dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada bulan Februari-Juli 2025. Berikut
outline rencana penelitian:
No |
Kegiatan |
Jadwal penelitian tahun 2025 |
||||||||||||
Jan |
Feb |
Mar |
Apr |
Mei |
Jun |
Jul |
Ags |
Sep |
Okt |
Nov |
Des |
|
||
1 |
Seminar Proposal |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2 |
Persiapan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pengumpulan data dan
informasi |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Literatur |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lapangan |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3 |
Pengolahan data, analisis
dan penyusunan desertasi |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4 |
Seminar Hasil |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA di Kabupaten Sleman. Berhubung populasi besar maka pengambilan sampel
dilakukan agar benar-benar mewakili populasi, yaitu pengambilan sampel dengan
memperhatikan strata-strata dalam populasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan
menggunakan teknik stratified
proportional random sampling atau sampel acak proporsional berstrata.
Teknik tersebut merupakan gabungan dari stratified
sampling (teknik sampling bertingkat) dan proportional sampling (teknik sampling proporsional) dilanjutkan
dengan random sampling (teknik
sampling acak).
Pengambilan sampel dengan stratified sampling ditentukan dengan
mengelompokkan strata sekolah berdasarkan ranking perolehan nilai Matematika
pada Asesmen
Nasional Berbasis Komputer (ANBK).
Instrumen yang digunakan adalah
tes diagnostik dan pedoman wawancara.
a.
Tes Diagnostik
Tes diagnostik merupakan tes yang dirancang untuk keperluan mendiagnosa
jenis dan faktor kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika berbasis
HOTS. Tes berbentuk soal esai,
terdiri atas 5 butir soal.
Langkah-langkah penyusunan instrumen pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a.
Menyusun
kisi-kisi soal berdasarkan KI dan KD matematika kelas X semester 1 dan rubrik penskoran.
b.
Menyusun
instrumen berdasarkan kisi-kisi.
c.
Diskusi dengan
guru dan dosen untuk mendapatkan masukan.
d.
Konsultasi
dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan masukan dan saran perbaikan.
e.
Memvalidasi
instrumen dan melakukan perbaikan.
b.
Pedoman
Wawancara
Pedoman wawancara digunakan sebagai panduan umum proses wawancara terhadap
unit subjek penelitian yang mewakili siswa dari tingkat kepandaian tinggi,
sedang, rendah yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah matematika
berbasis HOTS. Pada tahap ini akan dipilih masing-masing dua unit subjek
penelitian untuk mewakili strata tinggi, sedang, dan rendah, sehingga terdapat
enam unit subjek penelitian yang akan diwawancarai secara mendalam. Pengumpulan
data melalui wawancara (tanya jawab), dilakukan untuk mempertegas jenis dan
faktor kesulitan yang dihadapi siswa dalam memecahkan masalah matematika
berbasis HOTS. Wawancara dilakukan pada saat siswa setelah selesai
menyelesaikan soal dan hal ini dilakukan dengan kesepakatan antara siswa, guru
matematika dan peneliti.
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada unit sampel penelitian dan
difokuskan pada: (1) informasi yang diketahui dalam soal, (2) pertanyaan yang
dimaksud dalam soal, (3) langkah-langkah memecahkan soal matematika, (4) alasan
menggunakan langkah penyelesaian soal. Untuk informasi yang diberikan dalam
soal akan ditanyakan maksud dari kata-kata, simbol/notasi, serta konsep-konsep
dan prinsip-prinsip matematika. Wawancara diupayakan dapat mengungkap berbagai
kesulitan siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS.
Data penelitian berupa hasil jawaban siswa dalam memecahkan masalah
matematika berbasis HOTS yang akan
dianalisis dengan analisis deskriptif kuantitatif. Analisis tersebut digunakan
untuk memperoleh deskripsi dari jenis dan faktor kesulitan yang dihadapi siswa
dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS pada siswa dengan tingkat
kepandaian tinggi, sedang, dan rendah.
Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data, agar data yang
diperoleh tersusun secara sistematis dan lebih mudah ditafsirkan sesuai dengan
rumusan masalah. Langkah-langkah analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut.
1.
Mengumpulkan
dan memformulasikan semua data yang diperoleh dari lapangan. Data yang
diperoleh meliputi hasil tes dan hasil wawancara.
a.
Memeriksa hasil
tes diagnostik kesulitan pemecahan masalah matematika berbasis HOTS (benar,
salah dan tidak mengerjakan).
b.
Menganalisis
hasil tes diagnostik berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
c.
Mengidentifikasi
jenis kesulitan siswa dalam memecahkan masalah matematika berbasis HOTS yang
meliputi kesulitan membaca, pemahaman, transformasi, keterampilan proses, dan
penarikan kesimpulan. Jenis kesulitan membaca terjadi jika siswa tidak mampu
menyebutkan informasi dalam soal, yaitu membaca kata kunci atau simbol pada
soal. Jenis kesulitan pemahaman terjadi jika siswa tidak dapat memahami dan
menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan pada soal. Jenis kesulitan
transformasi terjadi jika siswa tidak mampu mengidentifikasi operasi atau pola
operasi yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Jenis kesulitan keterampilan
proses terjadi jika tidak mengetahui prosedur yang diperlukan untuk
menyelesaikan operasi tersebut secara akurat. Pada tahap ini dapatkah siswa
menunjukkan perhitungan atau prosedur matematis dengan tepat. Jenis kesulitan
pengkodean terjadi jika siswa tidak dapat menyajikan dan menyimpulkan jawaban
dengan tepat.
d.
Menyajikan data
jenis kesulitan pemecahan masalah matematika berbasis HOTS dalam bentuk tabel.
Pada tabel memuat banyak siswa dan persentase siswa yang mengalami kesulitan.
e.
Melakukan
wawancara.
f.
Menganalisis
hasil wawancara.
2.
Data yang telah
dikumpulkan selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian singkat dengan teks yang
bersifat naratif. Analisis data dalam penelitian ini juga dilakukan secara
deskriptif analitik. Analisis data dilakukan dengan mengorganisir hasil tes dan
hasil wawancara.
3.
Berdasarkan
penyajian data tersebut, selanjutnya dilakukan penarikan kesimpulan terhadap
jenis dan faktor kesulitan yang dominan dihadapi siswa dalam memecahkan masalah
matematika berbasis HOTS. Pada tahap ini
diadakan penarikan kesimpulan berdasarkan analisis terhadap data yang telah
dikumpulkan, baik melalui tes maupun wawancara.
DAFTAR PUSTAKA
Bell, F. H.
(1978). Teaching and learning mathematics (in secondary school). Iowa:
Brown Company Publisher.
Erman Suherman, et. al. (2003). Strategi
Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA
UPI.
Henningsen, M., & Stein, M. K. (1997).
Mathematical tasks and student cognition classroom-based factors that support
and inhibit high level mathematical thinking and reasoning. Journal for Research in Mathematics
Education, 28(5), 524-549.
Herman Hudojo. (2003). Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Jurusan Pendidikan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Malang.
Kirkley, Jamie. (2003). Principles for
Teaching Problem Solving. Plato Learning, Inc.
Lubienski, S.T. (2000). Problem solving as a means toward mathematics
for all: an exploratory look through a
class lens. Journal for Research in
Mathematics Education, 31(4), 454–482.
Mendikbud. (2013a). Lampiran peraturan
menteri pendidikan dan kebudayaan nomor
65, tahun 2013, tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah.
Mulyasa, E. (2006). Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
National Council of Teachers of
Mathematics (NCTM). (2000). Principle and standards for school mathematics.
Reston: NCTM .
Polya,
G. (1973). How To Solve It (2nd Ed).
Princeton: Princeton University Press.
Resnick, L.B. (1987). Educational and learning to think. Washington, D.C.: National
Academic Press Inc.
Taplin, Margaret. (2000). Mathematics
Through Problem solving. Dalam http://www.mathgoodies.com/articles/ diakses pada
1 Oktober 2024.
Yee, F.P.
(2000). Open-ended problem for higher order thinking in mathematics. Teaching and Learning, 20(2), 49-57.