(Terinspirasi Oleh
Perkuliahan Prof. Dr. Marsigit, M.A dalam
Perkuliahan Filsafat Ilmu Pada Hari Kamis Tanggal 23 Oktober 2014)
Oleh: Samsul Feri Apriyadi
Dikehidupan
sehari-hari, terkadang kita mendengar “kamu harus konsisten !”, “pendapatmu
harus konsisten”. Konsisten disini kita tahu maksudnya bahwa konsisten menurut
kamus besar bahasa indonesia adalah tetap(tidak berubah); taat asas; ajek; selaras; sesuai.
Namun
yang jadi pertanyaan adalah konsisten sendiri dilihat dari sudut pandang
filsafat itu bagaimana. Sebelumnya menurut immanuel kant prinsip dunia ada dua
yaitu prinsip identitas dan prinsip kontradiksi.
Prinsip
identitas adalah dirinya adalah dirinya, aku adalah aku, yang ada adalah yang
ada, feri yang dulu sama dengan feri yang sekarang dan sama dengan feri yang
akan datang. Semua itu hanya tercapai dalam pikiran saja, karena konsep
identitas harus sama antara yang tadi, yang sekarang dan yang akan datang,
dimana berada, dimana sekarang, dimana yang akan datang. Hidup sendiri sangat
sensitif akan ruang dan waktu. Jadi konsisten berdasarkan prinsip identitas
hanya ada dalam dunia pikiran, akibatnya tidak semua yang dianggap konsisten
itu konsisten tergantung sudut pandangnya. Identitas dimulai dari definisi,
aksioma, teorema-teorema.
Sedangkan
prinsip kontradiksi yaitu saat subjek tidak sama dengan
predikat. Hukum kontradiksi bersifat sintetik. Rumus hukum
kontradiksi yaitu subjek predikat. Segala yang ada di dunia ini
terikat ruang dan waktu, dunia pengalaman hukumnya kontradiksi.
Kontradiksi
dalam filsafat berbeda dengan kontradiksi dalam matematika. Kontradiksi dalam
matematika artinya tidak konsisten. Sesuatu yang tidak konsisten, pastilah
kontradiksi. Tidak konsisten dalam matematika adalah tautologi, artinya apapun
pasti benar. Sedangkan kontradiksi dalam filsafat adalah bukan identitas.
Yaitu
aku tidak sama dengan aku yang tadi aku yang sekarang dan aku yang akan datang,
dan lain sebagainya. Aku yang pertama pastilah tidak sama dengan aku yang kedua
karena aku yang pertama diucapkan lebih dulu, sedangkan aku yang sekarang
sedang berlangsung dan aku yang akan datang tentu berbeda dengan aku yang dulu
dan aku yang sekarang.
Jadi
berdasarkan kedua prinsip itu konsisten ada yang tetap dan ada yang berubah.
Misalnya saya terlahir sebagai laki-laki sekaligus hamba tuhan akan tetap jadi
laki-laki dan hamba tuhan sampai kapanpun.
Sedangkan
menurut teori konsisten untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan
atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas
hubungan subyek (ide, kesannya dan komprehensif) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman
subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang
sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khususnya di dalam bidang
pengukuran pendidikan.
Dengan demikian kekonsistensian
dalam kehidupan adalah sesuatu yang mustahil terjadi tetapi bagaimana kita berusaha
mengusahakannya baik dalam perkataan maupun perbuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar